Pengantar Fertilisasi pada Hewan

Fertilisasi pada Hewan

Fertilisasi merupakan proses penyatuan gamet jantan dan betina atau dapat juga berupa sperma dan sel telur untuk membentuk zigot atau embrio berupa satu sel yang merupakan karakteristik dari hampir semua spesies hewan. Proses ini sangat penting untuk menghasilkan keturunan baru yang menunjukkan semua karakteristik dari spesies tersebut. Untuk melihat proses fertilisasi dari berbagai macam hewan, kita akan dikejutkan oleh berbagai jalur yang diambil atau yang ditempuh oleh hewan-hewan tertentu untuk mencapai proses fertilisasi. Selain itu, berbagai jenis hewan tersebut juga memiliki karakteristik gamet mulai dari berbagai variasi ukuran dan juga bentuk. Misalnya pada beberapa spesies memiliki sperma yang memiliki flagel yang panjang serta pada beberapa spesies lain tidak memiliki flagel serta menunjukkan suatu gerakan seperti amoeboid. Demikian pula, beberapa telur memiliki Tempat khusus untuk masuknya sperma, sementara beberapa telur lainnya tidak memiliki Tempat khusus tersebut serta hampir seluruh permukaan nya dapat berinteraksi dengan sperma.  Tentu saja beberapa karakteristik gamet tersebut serta proses pembuahan yang terjadi di merupakan kebutuhan pembuahan yang spesifik dibutuhkan oleh hewan-hewan tertentu, misalnya terjadi perbedaan pembuahan secara eksternal maupun pembuahan secara internal serta terdapat juga perbedaan pembuahan yang terjadi di dalam air maupun di darat.

Tulisan kali ini akan mencoba untuk mengkaji aspek-aspek fertilisasi pada organisasi mamalia maupun non mamalia untuk memberikan pengenalan proses pembuahan tentang hewan serta beragam siklus yang terdapat di dalamnya terutama pada beberapa contoh hewan seperti tikus maupun bintang laut.

Kapasitasi Sperma Mamalia Dan Kemotaksis

dua Aspek penting dari fertilisasi mamalia adalah kapasitasi sperma dan kemotaksis sperma. Kapasitasi sperma mengacu pada perubahan maturasi atau pematangan sperma di dalam saluran reproduksi wanita serta kemotaksis merupakan pergerakan sperma untuk naik atau menuju ke sel telur melalui gradien kemo atraktan menuju telur untuk berovulasi di ampula saluran telur. Kapasitasi sperma merupakan peristiwa penting yang terdokumentasi dengan baik dan telah dilakukan penelitian selama bertahun-tahun oleh banyak laboratorium baik di tingkat seluler maupun di tingkat molekuler. Namun riset pada beberapa dekade terakhir menunjukkan bukti substansial telah terakumulasi untuk mendukung bahwa kemotaksis terjadi selama fertilisasi mamalia. Terdapat banyak bukti yang mendukung peran kemotaksis selama fertilisasi mamalia dan menunjukkan bahwa ada hubungan antara kemotaksis dan kapasitasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hanya sperma yang telah berkapasitasi yang dapat  reseptor di zona pelusida sel telur dan kemudian menjalani reaksi akrosom. Peneliti menjelaskan bahwa respon kemotaksis sperma juga terkait dengan kapasitasi, yaitu itu hanya sperma yang memiliki kapasitas yang dapat merespon sinyal kemotaksis dari sel telur yang telah berovulasi. Penelitian ini menjadi menarik karena menjelaskan mekanisme di mana sel telur juga melakukan pemilihan Kepada sperma-sperma tertentu saja yang mampu mengikat dan mampu membuahi sel telur.

Gambar. Kapasitasi Sperma

Zona Pelusida Telur Mamalia

semua telur mamalia dikelilingi atau dibungkus oleh zona pelusida yang juga memiliki peranan penting selama proses fertilisasi. Misalnya, sperma yang utuh dan dan berkapasitas akrosom berikatan dengan an-nas sektor spesifik spesies yang terletak di zona pelusida telur yang  telah berovulasi  dan setelah terjadi ikatan barulah reaksi akrosom terjadi yang memungkinkan sperma mampu menembus zona pelusida dan menyatu dengan membran plasma telur. Setelah proses fertilisasi, zona pelusida pada zigot dimodifikasi dan bertindak sebagai penghalang penetrasi oleh sperma lainnya serta mengikat sperma lainnya yang yang sedang berenang dengan bebas.  Zona pelusida pada  sel ovum tikus terdiri dari tiga glikoprotein yang disebut dengan mZP1-3,  yang tersusun menjadi filamen yang panjang serta terkait yang menunjukkan periodisitas struktural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus betina yang tidak memiliki glikoprotein mZP3,  mengalami kondisi dimana oosit yang tumbuh gagal untuk membentuk zona pelusida dan tikus tersebut menghasilkan ovum yang tidak subur. Riset lainnya menunjukkan bahwa mZP2, Meskipun tidak tersusun menjadi zona pelusida tetapi disintesis dan disekresikan oleh osit yang tumbuh dari tikus betina. Oleh karena itu sintesis dan sekresi dari glikoprotein ini tidak bergantung pada sintesis dan sekresi glikoprotein mZP3.  Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tikus wild type, sebagian besar mZP2 dan mZP3 disekresikan oleh oosit yang sedang tumbuh serta tidak dirakit menjadi zona pelusida.  Para peneliti menyimpulkan bahwa perakitan zona pelusida merupakan proses stokastik (random)  yang mungkin terjadi sepenuhnya diluar oosit yang sedang tumbuh.

What is a Zona Pellucida? - Definition from FertilitySmarts
Gambar. Komponen pada sel telur mamalia

Saluran Kalsium Sperma Mamalia

Akrosom merupakan vesikel sekretori besar yang menutupi nukleus di daerah apikal di bagian kepala sperma. Meskipun membran akrosom bersifat kontinu bagian yang mendasari membran plasma tersebut terdiri dari bagian luar dan bagian dalam serta menutupi nukleus secara sepenuhnya yang di juga disebut dengan membran akrosom bagian dalam. Reaksi akrosom terlihat dari beberapa proses fusi antara membran akrosom luar dan membran plasma di daerah anterior pada bagian kepala sperma pembentukan luas physical membran hibrida, serta paparan membran akrosom di bagian dalam dan isi dari akrosom. Penelitian terkait dengan reaksi akrosom pada sperma mamalia telah mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut melibatkan komponen cascading  sinyal tradisional termasuk kompleks g-protein.

Protease Akrosom Sperma Mamalia

setelah sperma mamalia mengalami reaksi akrosom pada permukaan zona pelusida di sel telur mereka harus menembus lapisan ekstraseluler untuk mencapai membran plasma dari sel telur. Penetrasi tersebut jelas melibatkan motilitas sperma tetapi mungkin juga melibatkan kemampuan hidrolisis glikoprotein dari zona pelusida untuk satu atau lebih protease akrosom. Selama bertahun-tahun diasumsikan bahwa enzim yang mirip tripsin yang disebut dengan akrosin terutama bertanggung jawab dalam proses penetrasi sperma melalui zona pelusida. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa tikus jantan yang tidak memiliki akrosin benar-benar dapat melakukan proses fertilisasi dengan baik. Tidak adanya kromosom pada sel sperma tikus tampaknya hanya menyebabkan keterlambatan dalam proses penyebaran komponen akrosom selama proses reaksi akrosom. Meskipun sperma dari mencit tidak memiliki akrosin,  tetapi memiliki kemampuan untuk menembus zona pelusida telur dimana kemungkinan akrosin memainkan peran yang lebih penting dalam penetas iguana pelusida oleh sperma dari hewan yang lain seperti tikus maupun hamster. Untuk menganalisis kemungkinan ini peneliti telah memeriksa protease Serin pada akrosom sperma dari tikus wild-type tikus tanpa akrosin dan tikus serta hamster wild-tipe.  Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa akrosom dari sperma tikus memiliki 2 protease Serin yang sangat melimpah selain akrosin yang juga tidak ditemukan pada sperma tikus dan hamster. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa spermaticus memiliki tingkat aktivitas ekosistem yang relatif rendah tetapi tingkat aktivitas protease lainnya sangat tinggi. Melihat hasil penelitian ini ada kemungkinan bahwa dibandingkan Antara sperma tikus dan hamster, akrosin memainkan peran yang lebih kecil pada penetrasi di zona pelusida oleh sperma tikus.

PLOS Biology: Find and fuse: Unsolved mysteries in sperm–egg recognition
Gambar. Tahapan fertilisasi yang didalamnya terdapat reaksi akrosom

Sel Telur Amfibi dengan Pembungkus Viteline Glikoprotein

pada amphibi diketahui bahwa telur di dalam rongga selom tidak dapat dibuahi, sedangkan telur yang telah melewati bagian saluran telur dapat dibuahi. Diantara banyak perubahan dalam selubung telur yang terjadi selama proses tersebut salah satunya adalah proses proteolitik dari glikoprotein penyusunnya oleh protease yang mirip tripsin yang sering disebut dengan oviduktin.  Riset terakhir menunjukkan dengan jelas bahwa glikoprotein yang membungkus vitelin telur amfibi sangat berkaitan dengan glikoprotein dari zona pelusida telur mamalia.

Peptida Pengaktif Sperma Echinodermata (sperm-activating peptides (SAPs))

Setidaknya terdapat tiga komponen dari lapisan Jelly telur echinodermata yang terlibat dalam proses induksi sperma untuk menjalani reaksi akrosom yaitu glikoprotein sulfat sebagai zat penginduksi reaksi akrosom, saponin steroid sebagai aktivator zat penginduksi reaksi akrosom, serta peptida pengaktif sperma (sperm-activating peptides (SAPs)) atau yang disebut dengan asterosaps.  Pada bintang laut, sel telur memiliki disulfida antar molekul yang penting.  SAPs pada bintang laut jauh lebih besar dan secara struktural berbeda dari zat pengaktif sperma pada sea urchin.  Pada sea urchin, cDNA dari prekursor  peptida pengaktif sperma, telah diisolasi dan ditemukan bahwa 1 mRNA mengkode banyak isoform dari peptida pengaktif sperma yang disintesis dalam sel folikel. Untuk menganalisis situasi yang terjadi pada bintang laut para peneliti mengkloning cDNA yang mengkode SAPs serta menentukan urutan nukleotidanya. Menariknya, cDNA  kloning mengkode beberapa SAPs dimana ditemukan 10 peptida yang dapat diidentifikasi dalam polipeptida prekursor yang dikode oleh cDNA.  Berbeda dengan sea urchin,  ternyata mRNA Yang mengkode SAPspada bintang laut hanya ditemukan pada oosit dan bukan pada sel folikel.

Referensi

Wassarman, P. M. (1999). Fertilization in animals. Developmental genetics25(2), 83-86.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Fotosintesis
Next post Perbedaan Anabolisme dengan Katabolisme (13 Perbedaan)