Pewarna (Dyes), Pewarnaan (Staining) dan Mounting (Coverslipping)

Karena selama prosesing, kebanyakan jaringan sudah tidak lagi memiliki warna yang memadai untuk dapat diamati komponen-komponennya dengan baik di bawah mikroskop maka hampir dibutuhkan suatu tahap pemberian warna terhadap jaringan Tahap ini dinamakan tahap pewarnaan (staining). Pemilihan bahan pewarna (stain atau dyes) yang tepat akan sangat membantu dalam identifikasi jaringan dan komponennya serta dalam mendiagnosis kondisi-kondisi patologisnya Pengetahuan yang memadai tentang struktur dan aksi pewarna akan sangat bermanfaat dalam penentuan dan pemilihan pewarna yang akan digunakan Untuk itu pembahasan ini akan dimulai dengan uraian singkat mengenai pewarna dan selanjutnya diikuti dengan uraian tentang berbagai teknik pewarnaan.

Bahan Pewarna

Berbagai bahan pewarna telah dikenal dewasa ini, tetapi secara garis besar, berdasarkan asal-usulnya dapat dikelompokkan atas pewarna alamiah (natural dyes) dan pewarna sintetik (synthetic dyes).

Pewarna Alamiah

Pewarna alamiah diperoleh dari bahan-bahan alamiah, baik hewan maupun tumbuhan Di antara pewarna alamiah tersebut, yang paling banyak dikenal adalah kokineal, carmine, dan hematoksilin Karena hematoksilin adalah yang paling banyak digunakan diberbagai laboratorium histologi, maka uraian tentang pewarna ini sedikit diutamakan jika dibanding dengan kedua jenis pewarna alamiah yang disebut pertama tadi.

Kokineal dan Carmine

Pewarna kokineal dan carmine diperoleh dari sumber hewani, sejenis insekta dengan ukuran tubuh yang sangat kecil, Coccus cacti, yang hidup pada tanaman kaktus tidak berduri Bahan pewarna terdapat dalam bentuk cairan berwarna ungu pada tubuh hewan betina. Hewan betina inilah yang kemudian dikumpulkan, dikeringkan dan kemudian dihancurkan tubuhnya untuk menghasilkan kokineal. Kokineal itu sendiri memiliki afinitas yang rendah terhadap jaringan kecuali dengan kehadiran unsur besi, aluminium dan unsur logam lainnya. Dengan kehadiran unsur logam tersebut sebagai mordant, proses pewarnaan Jaringan akan berlangsung dengan memadai Alum kokineal, salah satu bentuk pewarna kokineal yang paling umum digunakan bersama mordant, merupakan pewarna bahan inti yang efisien

Pewarna carmine dihasilkan dari kokineal dengan cara mendidihkan kokineal dengan sejenis garam tertentu, biasanya alum, hingga terbentuk presipitat Presipitat ini bersifat tidak larut dalam air, dan sebelum digunakan untuk mewarnai jaringan bahan ini harus dikonversi menjadi bentuk yang larut dalam air seperti carmine amoniak alau asetocarmine melalui proses-proses khusus.

Hematoksilin

Dalam banyak hal hematoksilin dapat dianggap sebagai pewarna alamiah yang paling penting. Bahan ini termasuk pewarna histologi yang pertama ditemukan dan sampai sekarang masih tetap bertahan sebagai pewarna yang paling populer. Hematoksilin diekstraksi dari kayu gelondongan sejenis tanaman polong-polongan yang mirip dengan pohon Nama tanamannya adalah Caesalpinia campechuanum, tanaman ini terdistribusi secara terbatas di daerah Amerika Tengah dan Selatan Bahan bakunya biasanya diekspor dalam bentuk potongan potongan, gelondongan kayu bulat, atau dalam bentuk ekstrak kering aqueous yang diekstraksi dari bagian kayunya. Bahan baku ini kemudian diekstraksi dengan eter secara kontinu, kemudian diuapkan, dilarutkan kembali dalam air lalu disaring dan akhirnya dikristalisasi. Seluruh tahapan yang sangat kompleks tersebut harus dilaksanakan secara perlahan, memakan waktu yang lama, dan dengan menggunakan peralatan yang mahal hingga membuat hematoksilin menjadi salah satu pewarna paling mahal yang dikenal.

Dalam kondisi terkristalisasi hematoksilin sebenarnya belum lagi merupakan pewarna, bahan ini harus dibiarkan mengalami oksidasi terlebih dahulu menjadi hematein (asam warna, walau namanya sangat mirip tetapi tidak ada hubungannya sama sekali dengan hematin yaitu komponen berwarna dari sel darah merah) Oksidasi bisa berlangsung melalui dua cara, yaitu secara alamiah (proses lambat, melalui pendedahan terhadap udara selama 3 samapi 6 minggu, seperti pada hematoksilin Heidenhain) atau secara buatan dengan menggunakan merkuri oksida, hidrogen peroksida, atau oksidator yang lain (proses cepat, seperti pada hematoksilin Harris) Jika digunakan sendirian, hematein merupakan pewarna lemah dan difus dengan afinitas yang rendah terhadap jaringan Untuk mengatasi hal tersebut, sering digunakan mordant khusus, seperti garam-garam aluminium, kalium atau besi.

Jika dioksidasi secara sempurna, hematoksilin merupakan pewarna yang sangat kuat dengan warna bervariasi dari ungu sampai biru atau sampai biru hitam. -Hematoksilin dengan mordant besi merupakan pewarna yang sangat berharga untuk mengamati mitosis karena pewarna ini akan benar-benar memberi warna hitam atau biru hitam pada kromatin Pewarna Alamiah Lainnya.

Pewarna lain yang dikenal dalam histologi adalah safron (dari stigma Crocus), indigo (dari tanaman Indigofera), berberine (dari barberry), orsein dan litmus (dari lichenes Lecanora dan Rocella) dan brazilin (terutama dari beberapa spesies Caesalpinia). Orsein, pewarna khas untuk jaringan ikat elastin (yang terdapat pada serabut elastik), dibuat dengan cara merebus tumbuhan Caesalpinia dalam air. Melalui perebusan tersebut, asam lecaronic yang dikandungnya akan terurai menghasilkan orsinol, yaitu suatu resorsinol dengan gugus metil yang melekat kepadanya. Orsinol dengan amoniak dan oksigen udara akan membentuk orsein.

Pewarna Sintetik

Pewarna sintetik memiliki kelebihan jika dibanding dengan pewarna alamiah. Kelebihan utamanya adalah bahwa pewarna ini dapat digunakan untuk pewarnaan ganda atau triple (double atau triple staining), yaitu penggunaan dua jenis atau lebih pewarna pada satu slide Pewarna ini, jika dipilih dengan tepat, akan mewarnai secara histologi. dalam arti bahwa masing-masing pewarna, karena spesifisitasnya sudah diketahui sebelumnya, hanya akan mewarnai bagian tertentu dari sel Sifat ini tentu sangat menguntungkan dan membantu dalam kegiatan pengamatan. Karena sifat-sifat kimianya, pewarna sinteik ini bisa melakukan proses pewarnaan seperti di atas (double atau triple staining) dengan baik. Pada saat disintesis, formula pewarna sintetis dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.

Umumnya pewarna sintetik dapat bekerja- dengan efisien baik secara anionik (asam) maupun secara kationik (basa). Biasanya bubuk pewarna yang kita peroleh (atau dibeli) adalah dalam bentuk garam, akan tetapi garam-garam dari apa yang kita kenal dengan pewarna basa (basic dyes) akan menghasilkan ion-ion OH dan akan bekerja sebagai kation, dan pewarna asam (acid dyes) akan menghasilkan ion-ion H’ yang bekerja sebagai anion. Dengan demikian pewarna asam (pewarna anionik) adalah bentuk garam dari warna asam, biasanya sebagai garam natrium, sementara pewarna basa (pewarna kationik) adalah bentuk garam dari warna basa yang umumnya berupa klorida. Pewarna basa memiliki afinitas terhadap inti sel yang bersifat basofilik (suka pewarna basa), sedangkan pewarna asam memiliki afinitas terhadap sitoplasma yang bersifat asidofilik (suka pewarna asam).

Selain kedua jenis pewarna ini, masih dikenal satu jenis pewarna lain yaitu pewarna netral. Pewarna ini biasanya diperoleh dengan cara mencampurkan garam natrium dari suatu pewarna asam dan garam klorida dari pewarna basa. Hasil yang diperoleh ketika menggunakan pewarna netral sangat berbeda dari pewarnaan ganda (double staining) biasa yang menggunakan pewarna pewarna asam dan basa secara terpisah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Organisasi Protoplasma
Next post Infiltrasi dan Embedding dalam Metode Parafin